RS Kemenkes Surabaya dan ARSADA Jatim Bahas Transformasi RS Berbasis Kompetensi
SURABAYA, 11 DESEMBER 2025 – Rumah Sakit Kementerian Kesehatan (RS Kemenkes) Surabaya bersama Asosiasi Rumah Sakit Daerah (ARSADA) Jawa Timur menggelar pertemuan untuk membahas berbagai tantangan implementasi klasifikasi rumah sakit berbasis kompetensi. Termasuk kesiapan sumber daya manusia (SDM), alat kesehatan, pembiayaan, serta strategi pengembangan layanan di daerah.
Dalam diskusi tersebut, Ketua Tim Kerja Penataan Sistem Rujukan Direktorat Pelayanan Klinis Kementerian Kesehatan, Ratih Dwi Lestari, mengapresiasi capaian Jawa Timur yang dinilai bergerak sangat cepat dalam proses sinkronisasi data rumah sakit.
“Jawa Timur ini provinsi dengan jumlah rumah sakit terbanyak di Indonesia, sekitar 413. Namun per 17 November, sinkronisasi datanya sudah 100 persen. Bahkan saat kami minta pembaruan data satu minggu lalu, responsnya mencapai 89 persen. Itu sangat luar biasa,” ujar Ratih, Rabu (10/12/2025).
Menurutnya, salah satu tantangan terbesar dalam klasifikasi berbasis kompetensi adalah pemenuhan SDM. Banyak rumah sakit memiliki keterbatasan jumlah tenaga kesehatan, terutama dokter spesialis. Meski begitu, ia menegaskan bahwa strategi bisnis rumah sakit sangat memengaruhi arah pengembangan kompetensi.
“Tidak semua rumah sakit dituntut untuk naik kelas. Ada yang memang strateginya tetap di layanan madya karena sesuai kebutuhan wilayah. Dengan sistem klasifikasi berbasis kompetensi ini, kekurangan-kekurangan rumah sakit terlihat sangat jelas, sehingga manajemen bisa menentukan rencana pengembangan,” jelasnya.
Ratih juga mendorong pemerintah daerah melalui dinas kesehatan untuk aktif memantau proses pembaruan data dan sinkronisasi agar potensi rumah sakit dapat berkembang optimal.
Sementara itu, Plh Direktur Utama RS Kemenkes Surabaya, dr. Martha M.L. Siahaan memaparkan bahwa transformasi pembiayaan menjadi isu besar yang dihadapi rumah sakit pemerintah, baik pusat maupun daerah. Karena itu, pertemuan kali ini fokus mengumpulkan direktur RSUD, rumah sakit TNI/Polri, dan kejaksaan yang memiliki tantangan serupa.
“Persoalan pembiayaan di rumah sakit pemerintah itu sangat berbeda dengan rumah sakit swasta. Di pemerintah, setiap langkah harus sangat hati-hati karena risikonya besar. Salah sedikit bisa panjang urusannya,” ujar Martha.
Ia mencontohkan pengalamannya memimpin RS Kemenkes Surabaya sejak masih dalam kondisi sangat terbatas. Saat awal bertugas, rumah sakit hanya memiliki enam pegawai, belum ada petugas keamanan maupun fasilitas memadai. Namun keterbatasan itu tidak menghalanginya berinovasi.
“Prinsip saya: don’t limit your challenge. Apa yang ada di depan mata, itu yang kita kerjakan dulu. Ketika dokter hanya 50 orang dan perawat 50 orang, kami mulai dari layanan yang bisa dijalankan: medical check-up, telehealth, home care, hingga program penitipan lansia saat Lebaran,” tuturnya.
Inovasi sederhana tetapi berdampak, menurut Martha, justru menjadi penggerak awal rumah sakit sebelum peralatan lengkap dan izin-izin tersedia.
“Kami bahkan turun ke TK untuk tes IQ anak-anak, bekerja sama dengan ibu-ibu PKK, hingga membangun jaringan komunikasi di tingkat RT. Inovasi itu tidak harus mewah. Yang penting bermanfaat dan sesuai kebutuhan masyarakat,” katanya.
Martha menambahkan bahwa dirinya tidak ingin mengeluh, meski berbagai tantangan masih menghadang. Ia berharap pada kesempatan berikutnya dapat mengumpulkan para direktur RSUD untuk berdiskusi lebih mendalam mengenai permasalahan lapangan
agar perbaikan layanan dapat dilakukan bersama.